Berpikir memang baik. Makin banyak berpikir, makin baik. Dengan banyak berpikir kita banyak tahu, keputusan kita bertambah bulat karena pertimbangan kita cukup lengkap. Belum lagi susunan otak kita akan terlatih, sehingga dendrit-dendrit di dalamnya akan menguat dan bertumbuh.
Dan begitulah seharusnya seorang Muslim. Saya ingat Pak Warsito seorang ilmuwan muslim asal Indonesia yang begitu dihargai di Jepang, saat ditanya apa yang menjadi hobi beliau, maka dengan singkat beliau akan menjawab : berpikir!
Namun sayang, banyak dari kita yang kurang suka berpikir. Dan ini miris. Apalagi jika mereka menyandang status akademis, seperti mahasiswa misalnya. Mahasiswa Ga doyan mikir? apa kata dunia! Dalam konteks yang lebih luas, umat Islam seringkali mendapat stigma kaum yang kurang berpikir.
Padahal dahulu umat ini begitu kaya akan ilmuwan-ilmuwan namanya terus mengharum di tengah kancah sejarah. Ibnu Rusy, Ibnu sinna, Ibnu Khaldun dan masih banyak nama-nama besar lain yang telah menciptakan karya besar melalui buah pikiran mereka.
Di sisi ekstrim yang lain banyak pula yang terlalu banyak berpikir. Intensitasnya sedikit lebay.Mereka keliru memaknai proses berpikir. Sedikit-sedikit mikir.
Psikolog Sian L. Beilock dari universitas Chicago pada 2008 meneliti tentang pengaruh kesempatan untuk berpikir yang diberikan kepada pegolf pemula dan pegolf profesional sebelum mereka diminta melakukan serangkaian pukulan. Pegolf pemula dianjurkan untuk mengambil waktu sebelum mulai, sedang kepada para professional dianjurkan untuk segera saja melakukannya. K
Ketika pegolf pemula diminta untuk melakukan lebih cepat, pukulan mereka menjadi kurang akurat, tapi pegolf profesional justru sebaliknya: mereka menunjukkan pukulan yang prima ketika diminta segera memukul dan goyah ketika disarankan untuk lebih dulu mengambil waktu.
Terlalu banyak berpikir memang banyak menggagalkan kegiatan yang memerlukan keahlian dan ketelitian; baik kegitan fisik maupun mental.
Anda dapat tersedak ketika berpidato didepan umum atau dalam seminar jika terlalu banyak berpikir untuk mencari kata-kata yang lebih tepat, salah menendang bola karena sibuk berpikir kearah pemain mana bola sebaiknya diberikan.
Atau gagal menerbitkan artikel karena terus-menerus dibaca ulang dan diperbaiki sampai akhirnya dibatalkan karena kecewa. Untuk yang ini, saya sendiri pernah jatuh bangun mengalaminya.
Begitulah. Terlalu banyak berpikir telah menggagalkan kreasi, menggangu inisiatif dan melemahkan motivasi, meskipun proses berpikir semula kita pahami sebagai mekanisme pertahanan untuk menghindari kegagalan.
Menurut sebuah artikel dalam Scientific American, mencoba berkonsentrasi untuk memantau kualitas kinerja kita sendiri adalah kontraproduktif karena otak kecil kita, yang mengatur gerakan yang komplek tidak mungkin kita akses dengan sadar dan disengaja. Karena terlalu banyak berpikir bukan bawaan lahir dan terbukti berbahaya, dan sebaiknya dihindari.
Berhentilah menunggu kesempurnaan. Kerjakan saja niat yang sudah dipertimbangkan. Jangan terlalu banyak asumsi, tinggalkan teori, segera bertindak. Rasakan takut tapi tetap lakukan! Jangan biarkan rasa takut membajak potensi atau melumpuhkan hidup anda!
Memang ada masa dimana berpikir sangat diperlukan untuk mengambil serangkaian keputusan. Namun juga ada saat - saat dimana untuk sementara kita harus menarik tuas BLINK!- Yaitu saat dimana kita berpikir tanpa berpikir. Maksudnya?
Gladwell menjelaskan dalam penelitiannya, bahwa manusia hakikatnya mampu berpikir cepat, karena telah memiliki banyak informasi dan rekaman pengalaman yang siap untuk diakses dalam otaknya.
Semua itu dapat menjadi referensi. Hal ini senada dengan yang disampaikan Dan Plutarch, seorang pakar otak. Pikiran kita, ujar beliau bukanlah wadah yang harus diisi, melainkan api yang harus dinyalakan. Otak kita hanya perlu percikan kecil dan cepat untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang brilian.
Sadar tidak sadar, banyak dari kita sibuk berpikir, serta kuatir dalam mengemukakan gagasan. Kuatir salah, kuatir keliru, dan kuatir ini, itu. Padahal tak ada yang namanya gagasan salah, adapun gagasan yang salah, kata Einstein, adalah gagasan yang tidak disampaikan.
Banyak orang berpikir, nyatanya tak kunjung menghasilkan ide. Banyak orang memiliki ide, nyatanya tak kunjung berbuah aksi. Imbasnya, mereka dengan pikirannya tak pernah beranjak kemana-mana. Padahal jelas, bahwanothing action, Nothing happen!
Seorang Muslim sepatutnya mampu berpikir cepat, tajam, dan brilian. Ia mampu mencerna masalah, kemudian lekas mengambil keputusan. Ia problem solver, bukan problem maker. Dengan pikirannya, ia menjadi trendsetter, bukan follower.
Seorang muslim juga harus mampu belajar tepat, berpikir cepat, serta bertindak bijak. Dengan begitu tak ada lagi yang menyangsikan kualitas seorang muslim, karena kapasitas dan cara berpikirnya jauh di atas orang kebanyakan.
Hingga mereka menjadi sosok yang disebutkan Umar radhiallahu ‘anhu saat menaklukan Romawi, “Satu orang diantara mereka setara dengan seribu laki-laki.”
Berpikir? Yes!
Teralu banyak berpikir? NO!
:)
www.eramuslim.com
Rabu, 04 Januari 2012
Muslim Excellent : Think Fast!
Senin, 02 Januari 2012
Wahai Ikhwah
Sejenak, marilah kita sama-sama renungkan tentang karya-karya yang telah
dihasilkan orang-orang mulia. Bagaimana kisah Salman Al-Farisi, lelaki
Persia dengan segala kemuliannya. Yang meskipun hanya meninggalkan
beberapa harta ketika meninggal masih saja menangis karena merasa punya tanggung jawab yang besar kepada Allah swt. Atau cobalah kita saksikan keyakinan yang begitu kuat yang dimiliki oleh Khalid bin Walid bahwa
Allah akan membantunya, dan dengan tenang menerima tantangan meminum
minuman beracun dari pasukan Romawi.
Merekalah orang-orang mulai yang begitu teguh keyakinannya kepada Allah. Iman yang melekat
di dalam diri mereka laksana darah yang mengaliri semua bagian tubuh
mereka, iman bagi mereka adalah harta paling berharga, karena dia
memberikan energi untuk bergerak, membongkar kemalasan yang sering
mendera, dan iman bagi mereka adalah sumber kekuatan terbesar,
terdahsyat, dan tak tergantikan oleh apapun.
Merekalah
orang-orang mulia yang tercatat dalam sejarah bahwa meninggalnya mereka selalu dalam keadaan syahid, bahwa kehidupan mereka laksana air
penyejuk bagi orang-orang di sekitar mereka, bahwa akhlaq mereka begitu dekat dengan Al-Qur’an, bahwa keberanian mereka membela agama Allah
begitu membara di dalam jiwa.
Ya… Merekalah orang-orang
yang hatinya selalu terhimpun untuk berjuang di Jalan Allah. Dengan
bekal keimanan dan ketakwaan yang begitu kuat. Mereka mencapai
kemuliaan hidup yang sangat sulit kita rasakan.
Saudaraku….
Keberhasilan meletakkan Allah di dalam diri mereka, adalah karena usaha yang begitu keras untuk selalu dekat dengan-Nya. Mereka tidak lena di malam hari,
dibuai mimpi atau lebih memilih bersenang-senang dengan istri-istri
mereka, mereka tidak pernah takut jika harus mengorbankan jiwa dan raga mereka untuk agama Allah, mereka orang yang selalu bersemangat tatkala masa jihad telah tiba. Karena saatnya mereka membuktikan kecintaan dan keimanan mereka kepada Allah swt.
Lalu…
Mari kita bandingkan diri-diri kita dengan mereka.
Coba kita tengok berapa lama kita habiskan waktu kita untuk mengingat mati?
Berapa lama kita habiskan untuk men-tadabburi ayat-ayat-Nya?
Berapa lama kita memeras keringat untuk menguatkan jalan dakwah ini?
Berapa lama wahai ikhwah?
Berapa lama
Betapa jauh….
Betapa jauh jika kita bandingkan dengan pengorbanan mereka.
Betapa kita sering berkeluh kesah, marah, kecewa, benci, bahkan kata-kata tak sanggup mengemban amanah dakwah ini begitu sering terucap.
Lantas jika mental ini dimiliki oleh seorang ikhwah kapan kita bisa membangun bangsa?
Kapan kita bisa merubah peradaban ummat?
Kapan wahai ikhwah?
Kapan?
Menunggu kalian berhenti menyelesaikan permainan game di depan komputer?
Menunggu kalian siap untuk menjadi Murabbi?
Menunggu kalian selesai tidur setelah subuh untuk datang syura?
Menunggu dan menunggu?
Itu yang ingin kalian katakan wahai ikhwah?
Wahai ikhwah?
Hari ini…
Sudahkah kita ingat seberapa besar amal yang kita kerjakan?
Sudah berapa lembarkah tilawah kita?
Masihkah sujud di malam hari kita kerjakan?
Masihkah kita mengingat bahwa lapar di siang hari adalah energi bagi jiwa-jiwa para da’i?
Masihkah kita merenung bahwa bekal yang paling baik adalah iman dan takwa?
Masihkah dan masihkah wahai Ikhwah ?
Wahai ikhwah….
Sudahkah diskusi-diskusi keseharian kita bermuatan ilmu dan saling nasihat-menasihati ?
Sudahkah cerita-cerita kita berujung kepada perbaikan diri-diri kita ?
Sudahkah forum-forum syura kita menghasilkan kerja-kerja dakwah yang menggerakkan ?
Sudahkah wahai ikhwah ?
Sudahkah ?
Mari kita bertanya..
Jika saat ini, masih saja banyak kader yang lemah, masih saja dakwah ini
tersendat-sendat, mari kita bertanya ke dalam diri kita..
Sudah dekatkah kita dengan-Nya ?
Sedangkan DIA adalah Zat Pemberi Kemenangan.
Sudah kuatkah amalan-amalan kita kepada-Nya ?
Sedangkan ia adalah senjata orang-orang yang mulia
Sudah seberapa jauhkah kita membuat tubuh ini letih bekerja di jalan-Nya ?
Sedangkan keletihan senantiasa melahirkan getar-getar iman yang mendalam..
Jika belum..
Mari sama-sama kita renungkan..
Keep Hamasah..
Allah mencintaimu…
Sumber : Dakwatuna.com